HASIL riset terbaru DNA (deoxyribonucleic acid) tentang asal-usul manusia Asia menyimpulkan bahwa Asia Tenggara merupakan sumber geografis utama dari populasi di Asia yang kemudian menyebar ke utara.
"Nenek-moyang bangsa-bangsa Asia yang keluar dari Afrika sekitar 100 ribu tahun lalu itu menyusuri sepanjang pesisir, selatan ke arah timur dan lebih dulu berpusat di Asia Tenggara sekitar 60 ribu tahun lalu, baru kemudian menyebar ke berbagai kawasan di utaranya di Asia," kata Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Dr Sangkot Marzuki kepada pers di Jakarta, Jumat.
Kesimpulan terbaru ini, disebutkan Sangkot, membantah teori sebelumnya yang menyebut bahwa ada jalur majemuk migrasi nenek moyang bangsa Asia, yakni melalui jalur utara dan jalur selatan, dan membantah bahwa bangsa Asia Tenggara (yang berbahasa Austronesia) berasal dari Taiwan. Hal itu terlihat pula dari keanekaragaman genetik yang makin ke selatan semakin tinggi, sedangkan etnik-etnik di kawasan Asia lebih utara lebih homogen, ujar Sangkot yang merupakan salah satu pemrakarsa riset tersebut.
Riset ini dilakukan oleh lebih dari 90 ilmuwan dari konsorsium Pan-Asian SNP (single-nucleotide polymorphisms) dinaungi Human Genome Organisation (HUGO) yang meneliti 73 populasi etnik Asia di 10 negara (Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, India, China, Korea, Jepang dan Taiwan) dengan total sekitar 2.000 sample.
Menurut Sangkot, kesimpulan dari riset yang memakan waktu tiga tahun dan telah dirilis di jurnal Science pada 10 Desember 2009 berjudul "Mapping Human Genetic Diversity in Asia" itu jauh lebih akurat dibanding riset-riset sebelumnya yang hanya menggunakan DNA mitokondria atau kromosom Y, karena menganalisis seluruh kromosom. Ia menolak menyimpulkan secara spesifik bahwa pusat peradaban bangsa Asia pada sekitar 60 ribu tahun lalu itu ada di Indochina atau di semenanjung Malaya, karena masih memerlukan riset yang lebih detil lagi.
"Bisa saja pusatnya sebenarnya ada di Sundaland (di laut China Selatan-red) yang sudah tenggelam pada sekitar 12.000 hingga 8.000 tahun lalu," katanya. Dikatakan dia, penjelasan menyeluruh dari sejarah genetik populasi Asia memerlukan suatu studi lanjutan mengenai genom dengan lebih banyak sample dan marka yang densitasnya lebih tinggi lagi.
Saat ini dari setiap individu sample dianalisis 50 ribu marka. "Fase berikutnya kami akan lebih banyak memasukkan berbagai etnik, sehingga percabangannya akan menjadi lebih detil terlihat," katannya. Pemetaan keanekaragaman genetik ini, tambah dia, juga sangat penting bagi penelusuran dan penanganan berbagai penyakit genetik seperti hepatitis, thalasemia, dan lain- lain.
"Nenek-moyang bangsa-bangsa Asia yang keluar dari Afrika sekitar 100 ribu tahun lalu itu menyusuri sepanjang pesisir, selatan ke arah timur dan lebih dulu berpusat di Asia Tenggara sekitar 60 ribu tahun lalu, baru kemudian menyebar ke berbagai kawasan di utaranya di Asia," kata Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Dr Sangkot Marzuki kepada pers di Jakarta, Jumat.
Kesimpulan terbaru ini, disebutkan Sangkot, membantah teori sebelumnya yang menyebut bahwa ada jalur majemuk migrasi nenek moyang bangsa Asia, yakni melalui jalur utara dan jalur selatan, dan membantah bahwa bangsa Asia Tenggara (yang berbahasa Austronesia) berasal dari Taiwan. Hal itu terlihat pula dari keanekaragaman genetik yang makin ke selatan semakin tinggi, sedangkan etnik-etnik di kawasan Asia lebih utara lebih homogen, ujar Sangkot yang merupakan salah satu pemrakarsa riset tersebut.
Riset ini dilakukan oleh lebih dari 90 ilmuwan dari konsorsium Pan-Asian SNP (single-nucleotide polymorphisms) dinaungi Human Genome Organisation (HUGO) yang meneliti 73 populasi etnik Asia di 10 negara (Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, India, China, Korea, Jepang dan Taiwan) dengan total sekitar 2.000 sample.
Menurut Sangkot, kesimpulan dari riset yang memakan waktu tiga tahun dan telah dirilis di jurnal Science pada 10 Desember 2009 berjudul "Mapping Human Genetic Diversity in Asia" itu jauh lebih akurat dibanding riset-riset sebelumnya yang hanya menggunakan DNA mitokondria atau kromosom Y, karena menganalisis seluruh kromosom. Ia menolak menyimpulkan secara spesifik bahwa pusat peradaban bangsa Asia pada sekitar 60 ribu tahun lalu itu ada di Indochina atau di semenanjung Malaya, karena masih memerlukan riset yang lebih detil lagi.
"Bisa saja pusatnya sebenarnya ada di Sundaland (di laut China Selatan-red) yang sudah tenggelam pada sekitar 12.000 hingga 8.000 tahun lalu," katanya. Dikatakan dia, penjelasan menyeluruh dari sejarah genetik populasi Asia memerlukan suatu studi lanjutan mengenai genom dengan lebih banyak sample dan marka yang densitasnya lebih tinggi lagi.
Saat ini dari setiap individu sample dianalisis 50 ribu marka. "Fase berikutnya kami akan lebih banyak memasukkan berbagai etnik, sehingga percabangannya akan menjadi lebih detil terlihat," katannya. Pemetaan keanekaragaman genetik ini, tambah dia, juga sangat penting bagi penelusuran dan penanganan berbagai penyakit genetik seperti hepatitis, thalasemia, dan lain- lain.
0 comments:
Post a Comment