Propellerads
Home » » Makalah Rahn (Pengertian dan Implementasinya)

Makalah Rahn (Pengertian dan Implementasinya)

Written By Unknown on Tuesday, November 22, 2016 | 7:40 PM



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Gadai
Pengertian hukum gadai dalam fiqh Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam, yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahn, yang berarti air yang tenang. Hal itu,berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat 38.
Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materiil. Karena itu, secara bahasa ar-rahn berarti ‘menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan; sedangkan  dalam pengertian istilah adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat di ambil kembali sejumlah harta yang di maksudkan sesudah di tebus. Namun, pengertian gadai yang terungkap dalam Pasal 1150 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh  seseorang yang mempunyai piutang atas suatu  barang bergerak, yaitu barang bergerak tersebut  diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau orang yang lain atas nama orang yang mempunyai utang.[1]
B.     Rukun dan Syarat Rahn
1.      Rukun Gadai
a.       Rahin (yang menggadaikan)
Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang akan digadaikan.
b.      Murtahin (yang menerima gadai)
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai)
c.       Marhun (barang yang digadaikan)
Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang.
d.      Marhun bih (utang)
Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya taksiran marhun.
e.       Sighat
Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.
2.      Syarat Gadai
a.       Rahin dan Murtahin
Pihak-pihak yang melakukan perjanjian rahn, yakni rahin dan murtahin harus mengikuti syarat-syarat berikut kemampuan, yaitu berakal sehat. Kemampuan juga berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi pemilikan.
b.      Sighat
1.      Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu waktu di masa depan.
2.      Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu di masa depan.
c.       Marhun bih (utang)
1.      Harus merupakan hak yang wajib diberikan/diserahkan kepada pemiliknya.
2.      Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi utang tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak sah.
3.      Harus dikuantifikasi/dapat dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat diukur/tidak dikualifikasi rahn itu tidak sah
d.      Marhun (barang)
Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat, antara lain :
1.      Harus diperjualbelikan.
2.      Harus berupa harta yang bernilai.
3.      Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah.
4.      Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah untuk digadaikan, harus berupa barang yang diterima secara langsung.
5.      Harus dimiliki oleh rahin (peminjam/pegadai) setidaknya harus seizin pemiliknya.[2]
C.    Implementasi Rahn Dalam Pegadaian Syariah
Implementasi operasional pegadaian syariah hampir bermiripan dengan pegadaian konvensional. Seperti halnya pegadaian konvensional, pegadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat. Namun disamping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi, dan pendanaan, pegadaian syariah memiliki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan pegadaian konvensionsal.
Sesuai dengan landasan konsep rahn, pada dasarnya pegadaian syariah berjalan di atas dua akad transaksi syariah yaitu:
  1. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
  2. akad Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakuakan akad (Nugrahaa, 2004).
Adapun teknis pelayanan dalam pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
  1. Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan.
  2. Pegadaian syariah dan nasabah menyepakati akad gadai. Akad ini meliputi jumlah pinjaman, pembebanan biaya Jasa Simpan dan biaya Administrasi, dan jatuh tempo pengembalin pinjaman, yaitu 120 hari (4 bulan).
  3. Pegadaian syariah menerima biaya Administrasi dan biaya Jasa Simpan oleh nasabah.
  4. Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh tempo. Apabila pada saat jatuh tempo nasabah belum dapat mengembalika  uang pinjaman, dapat diperpanjang 1(satu) kali masa jatuh tempo, demikian seterusnya.
  5. Apabila nasabah tidak dapat mengembalikan uang pinjaman dan tidak memperpanjang akad gadai, selanjutnya pegadaian melakukan kegiatan pelelangan untuk menjual barang tersebut dan mengambil pelunasan uang pinjaman oleh nasabah dari hasil penjualan barang gadai.[3]
D.    Berakhirnya Rahn
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh ada syarat-syarat, semisal ketika akad gadai diucapkan “apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka marhun (jaminan) menjadi milik murtahin sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil dari pada utang rahin  (orang yang memberikan jaminan) yang harus dibayar, yang mengakibatkan kerugian pada pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran lebih besar jumlahnya dari pada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan rahin.
Apabila syarat diatas diadakan dalam akad gadai, akad gadai tetap sah tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan, rahin belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual jaminan atau marhun, pembeliannya boleh murtahin (orang yang menerima) itu sendiri atau yang lain tetapi harus dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utangnya, sisanya dikembalikan pada rahin. Sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya. Berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi yang artinya “Rahn itu tidak boleh dimiliki, rahn itu milik orang yang menggadaikan. Ia berhak  atas keuntungan dan kerugiannya.”
Dapat disimpulkan bahwa akad rahn berakhir dengan hal-hal sebagai berikut:
a)    Barang gadai telah diserahkan kembali pada pemiliknya.
b)   Rahin telah membayar hutangnya.
c)    Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun dengan pemindahan oleh murtahin.
d)   Pembatalan oleh murtahin meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
e)    Rusaknya barang rahin bukan oleh tindakan atau pengguna murtahin.
f)    Setiap ada awal pasti ada akhir, setiap permasalahan pasti ada penyelesaian. Begitu juga dengan gadai pasti akan ada pula hapus atau berakhirnya hak gadai. Berakhirnya persetujuan gadai adalah merupakan rentetan, setelah terlaksananya persetujuan. 
Mengenai cara berakhirnya atau hapusnya suatu gadai menurut KUH Perdata adalah sebagai berikut:
a)    Hak gadai hapus apabila hutang telah dibayar oleh si berutang.
b)   Hak gadai hapus apabila barang yang di gadaikan keluar dari kekuasaan si penerima gadai.
c)    Apabila sudah dilepaskan oleh penerima gadai melunasi atas dasar atau kemauan sendiri dari penerima gadai maka penerima gadai mengembalikan barang yang digadai pada pemberi gadai.
d)   Karena persetujuan gadai bersifat uccessoir yang jika perjanjian pokok berakhir maka dengan sendirinya gadai pun berakhir.
e)    Bila barang yang digadaikan musnah atau terbakar diluar kehendak atau kemampuan pemegang gadai.
f)    Barang gadai menjadi milik dari si pemegang gadai atas kesepakatan atau persetujuan dari si pemberi gadai (pengalihan hak milik atas kesepakatan).
Berakhirnya gadai dapat juga berakhir apabila tanah gadai musnah karena bencana alam atau lainnya, maka perjanjian gadai berakhir dan pemegang gadai tidak berhak untuk meminta uang gadainya kembali dari penggadai. Benda gadai dilepaskan dari penguasaan pemberi gadai (debitur), maka benda gadai harus dialihkan dalam penguasaan Perum Pegadaian (kreditur).
Berdasarkan Pasal 1152 ayat (4) KUH Perdata dijelaskan si kreditur (pemegang gadai) akan tetap mendapatkan hak gadai tersebut meskipun si pemberi gadai(debitur) bukanlah orang yang memiliki barang tersebut.dalam kasus ini, pegadaian sebagai pemegang gadai kreditur beritikad baik, sehingga kreditur tersebut yang telah menerima benda gadai orang lain yang berstatus sebagai detentor dari benda yang digadaikan, tetap mendapatkan  hak gadai secara sah atas benda itu. Karena kreditur pemegang gadai(pegadaian) dilindungi terhadap pemilik (eigenaar dari benda gadai).[4]

     BAB III
KESIMPULAN
Dari sepenggal pembahasan diatas, dapat kita ketahui bahwa pengartian Rahn menurut syariat Islam berarti penahanan atau pengekangan. Sehingga dengan adanya akad gadai menggadai, kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama, yang punya utang bertanggung jawab melunasi utangnya dan yang berpiutang bertanggug jawab menjamin keutuhan barang jaminannya. Apabila utang telah dibayar maka pemahaman oleh sebab akad itu dilepas, dan keadaannya bebas dari tanggung jawab dan kewajiban masing-masing.
  Dasar hukum rahn itu sendiri diambil dari Al-Qur’an dan sunnah  Rasullah SAW dan ulama Fiqih sepakat mengatakan bahwa akad rahn itu dibolehkan karena banyak kemasyalatan yang terkandung didalamnya dalam rangka hubungan antara sesama manusia.

0 comments:

Post a Comment