Propellerads
Home » » Kesantunan Bahasa dan Retorika Lengkap

Kesantunan Bahasa dan Retorika Lengkap

Written By Unknown on Sunday, January 1, 2017 | 9:31 PM

BAB I
PENDAHULUAN
                                                                               
A. LATAR BELAKANG
Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual, tetapi seringkali pula berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal. Apabila sebagai retorika tekstual, pragmatik membutuhkan prinsip kerja sama maka dalam retorika interpersonal, pragmatik membutuhkan prinsip kesantunan bahasa.
Kesantunan dalam berbahasa merupakan bidang baru dalam kajian kebahasaan, khususnya bahasa dalam penggunaan (language in use), kesantunan (politeness) dalam berbahasa seyogyanya mendapatkan perhatian, baik oleh pakar atau linguis, maupun para pembelajar bahasa. Selain itu, penting juga bagi setiap orang untuk memahami kesantunan bahasa, karena manusia yang kodratnya adalah “makhluk berbahasa” senantiasa melakukan komunikasi verbal yang sudah sepatutnya beretika
Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena didalam terdapat komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Pengertian retorika?
b. Pengertian kesantunan bahasa?
c. Bagaimana pembagian jenis kesantunan?
d. Bagaimana pembentukan kesantuna berbahasa?
C. Tujuan penelitian
a. Mengetahui pengertian retorika
b. Mengetahui pengertian kesantunan bahasa
c. Mengetahui pembagian jenis kesantun
d. Mengtahui pembentukan kesantunan bahasa
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN RETORIKA
Kata retorika merupakan konsep untuk menerangkan tiga seni penggunaan bahasa persuasi yaitu :etos,patos, dan logos.Dalam artian sempit, retorika dipahami sebagai konsep yang berkaitan dan seni berkomunikasi lisan berdasarkan tata bahasa, logika, dan dialektika yang baik dan benar untuk mempersuasi public dengan opini. Dalam artian luas, retorika berhubungan dengan diskursus komunikasi manusia.
Para pakar retorika lainnya adalah Isocrates dan Plato yang kedua-duanya dipengaruhi Georgias dan Socrates.Mereka ini berpendapat bahwa retorika berperan penting bagi persiapan seseorang untuk menjadi pemimpin.Plato yang merupakan murid utama dari Socrates menyatakan bahwa pentingnya retorika adalah sebagai metode pendidikan dalam rangka mencapai kedudukan dalam pemerintahan dan dalam rangka upaya mempengaruhi rakyat.
Puncak peranan retorika sebagai ilmu pernyataan antar manusia ditandai oleh munculnya Demosthenes dan Aristoteles dua orang pakar yang teorinya hingga kini masih dijadikan bahan kuliah di berbagai perguruan tinggi.
Menurut Plato, retorika adalah seni para retorikan untuk menenangkan jiwa pendengar. Menurut Aristoteles, retorika adalah kemampuan retorikan untuk mengemukakan suatu kasus tertentu secara menyeluruh melalui persuasi.
Dari simpulan diatas, retorika didefinisikan sebagai seni membangun argumentasi dan seni berbicara (the art of constructing arguments and speechmaking). Dalam perkembangannya retorika juga mencakup proses untuk “menyesuaikan ide dengan orang dan menyesuaikan orang dengan ide melalui berbagai macam pesan”.
B. PENGERTIAN KESANTUNAN BAHASA
Bersikap atau berbahasa santun dan beretika juga bersifat relatif, tergantung pada jarak sosial penutur dan mitra tutur. Makna kesantunan dan kesopanan juga dipahami sama secara umum, padahal kedua hal tersebut sebenarnya berbeda. Istilah sopan merujuk pada susunan gramatikal tuturan berbasis kesadaran bahwa setiap orang berhak untuk dilayani dengan hormat, sementara santun itu berarti kesadaran mengenai jarak sosial (Thomas, 1995).
Kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat atau situasi lain. Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita dan lain sebagainya. Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berbusana, cara bertindak dan cara bertutur.
Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena didalam terdapat komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan.
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa. Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi.
Kesantunan memang penting dimana pun individu berada. Setiap anggota masyarakat percaya bahwa kesantunan yang diterapkan mencerminkan budaya suatu masyarakat, termasuk kesantunan berbahasa.
Kesantunan itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan. Kata sopan memiliki arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki arti berbahasa (atau berperilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan mitra tutur.
C. JENIS KESANTUNAN

            Berdasarkan butir terakhir itu, kesantunan dapat dibagi tiga, yaitu kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa. Kecuali berpakaian, dua kesantunan terakhir tidak mudah dirinci karena tidak ada norma baku yang dapat digunakan untuk kedua jenis kesantunn itu.       
            Dalam kesantunan berpakaian (berbusana, berdandan), ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, berpakaianlah yang sopan di tempat umum, yaitu hindarilah pakaian yang dapat merangsang orang lain terutama lawan jenis, seperti pakaian tembus pandang (transparan), menampakkan bagian badan yang pada umumnya ditutup, dan rok yang terlalu mini atau terbelah terlalu tinggi. Kedua, berpakaianlah yang rapi dan sesuai dengan keadaan, yaitu berpakaian resmi pada acara resmi, berpakaian santai pada situasi santai, berpakaian renang pada waktu renang. Betapapun mahalnya pakaian renang, tidak akan sesuai apabila dipakai dalam suatu acara resmi.           
            Kesantunan perbuatan adalah tatacara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam situasi tertentu.misalnya ketika menerima tamu, bertamu ke rumah orang, duduk di ruang kelas, menghadapi orang yang kita hormati, berjalan di tempat umum, menunggu giliran (antre), makan bersama di tempat umum, dan sebagainya. Mmasing-masing situasi dan keadaan tersebut memerlukan tatacara yang berbeda. Pada waktu makan bersama, misalnya, memerlukan kesantuan dalam cara duduk, cara mengambil makanan, cara makan atau mengunyah, cara memakai sendok, cara membersihkan mulut setelah makan, dan cara memakai tusuk gigi. Sekedar contoh terkait dengan kesantunan tindakan, misalnya tidaklah santun apabila kita berwajah murung ketika menerima tamu, duduk dengan "jigrang" ketika mengikuti kuliah dosen,bertolak pinggang ketika berbicara dengan orang tua, mendahului orang lain dengan bersenggolan badan atau ketika berjalan di tempat umum tanpa sebab, nyelonong ke loket ketika yang lain sedang antre menanti giliran, menguap selebar-lebarnya sambil mengeluarkan suara di depan orang lain, dan mencungkil gigi tanpa menutup mulut ketika sedang makan bersama di tempat umum.      
            Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tida sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.    
            Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar mengajar bahasa. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal berikut.         

1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu.           
2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu.         
3. Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan selalu diterapkan.        
4. Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara.
5. Bagaimana sikap dan gerak-gerik keika berbicara.
6. Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.  

Tatacara berbahasa seseorang diengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tatacara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tatacara berbahasa orang Jawa bebeda dengan tatacara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonsia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum atau di samping mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa.

D. PEMBENTUKAN KESANTUNAN BERBAHASA
            Sebagaimana disinggung di muka bahwa kesantunan berbahasa menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Kesantunan berbahasa (menurut Leech, 1986) pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip.
            Pertama, penerapan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan kesenangan/kearifan, keuntungan, rasa salut atau rasa hormat, pujian, kecocokan, dan kesimpatikan kepada orang lain' dan (bersmaan dengan itu) meminimalkan hal-hal tersebut pada diri sendiri.           
            Dalam berkomunikasi, di samping menerapkan prinsip kerja sama (cooperative principle) dengan keempat maksim (aturan) percakupannya, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara; juga menerapkan prinsip kesopanan dengan keenam maksimnay, yaitu (1) maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang menguatamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatisan yang mengutakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan prinsip kesopanan ini, orang todak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yag merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif.        
            Kedua, penghindaran pemakaian kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk padaorgan-organ tubuh yang lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata "kotor" daqn "kasar" termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu. Contoh berikut ini merupaka kalimat yang menggunakan kata tabu karena diucapkan oelh mahasiswa kepada dosen ketika perkuliahan berlangsung.
            Ketiga, sehubungan dengan penghindaran kata tabu, penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan penghalus. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif. Yang perlu diingat adalah, eufemisme harus digunakan secara wajar, tidak berlebihan. Jika eufemisme telah menggeser pengertian suatu kata, bukan untuk memperhalus kata-kata yang tabu, maka eufemisme justru berakibat ketidaksantunan, bahkan pelecehan. Misalnya, penggunaan eufemisme dengan menutupi kenyataan yang ada, yang sering dikatakan pejabat. Kata "miskin" diganti dengan "prasejahtera", "kelaparan" diganti dengan "busung lapar", "penyelewengan" diganti "kesalahan prosedur, "ditahan" diganti "dirumahkan", dan sebagainya. Di sini terjadi kebohongan publik. Kebohongan itu termasuk bagian dari ktidaksantunan berbahasa.       
            Keempat, penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbcara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidakmengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara.          
            Walaupun bahasa Indonesia tidak mengenal tingkatan, sebutan kata diri Engkau, Anda, Saudara, Bapak/bu mempunyai efek kesantunan yang berbeda ketika kita pakai untuk menyapa orang. Keempat kalimat berikut menunjukkan tingkat kesantunan ketika seseorang pemuda menanyakan seorang pria yang lebih tua.
            Tujuan utama kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi. Oleh karena itu, oemakaian bahasa yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga merupakan ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat Indonesia kaena terbawa oleh budaya "tidak terus terang" dan menonjolkan perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak bermaksud mengaburka komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak tahu apa yang dimaksudkannya.       
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kata retorika merupakan konsep untuk menerangkan tiga seni penggunaan bahasa persuasi yaitu :etos,patos, dan logos.Dalam artian sempit, retorika dipahami sebgai konsep yang berkaitan dan seni berkomunikasi lisan berdasarkan tata bahasa, logika, dan dialektika yang baik dan benar untuk mempersuasi public dengan opini. Dalam artian luas, retorika berhubungan dengan diskursus komunikasi manusia.
Bersikap atau berbahasa santun dan beretika juga bersifat relatif, tergantung pada jarak sosial penutur dan mitra tutur. Makna kesantunan dan kesopanan juga dipahami sama secara umum, padahal kedua hal tersebut sebenarnya berbeda. Istilah sopan merujuk pada susunan gramatikal tuturan berbasis kesadaran bahwa setiap orang berhak untuk dilayani dengan hormat, sementara santun itu berarti kesadaran mengenai jarak sosial (Thomas, 1995).
Dalam berbahasa, kesantunan merupakan suatu hal yang vital. Berbahasa santun itu sendiri merupakan kesadaran timbal-balik bahwa penutur senantiasa menginginkan mitra tutur berekspresi sebagaimana cara penutur berekspresi.
Kesantunan berbahasa bersentral pada jarak sosial, yang mana sekaligus mengatur tata krama berbahasa kita. Santun berarti tidak mengancam wajah, tidak menyatakan hal-hal yang bermuatan ancaman terhadap harga diri seseorang, atau tidak mencoreng wajah seseorang maupun wajah diri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
http://sukman21.blogspot.co.id/2015/05/makalah-kesantunan-berbahasa.html  diunduh pada tanggal 9 November 2016, jam19:16

            http://assyafiudin.blogspot.co.id/2016/11/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html

0 comments:

Post a Comment