Propellerads
Home » » Makalah Al-Kafalah (Fatwa dan Penerapan al-Kafalah dalam Perbankan Syariah)

Makalah Al-Kafalah (Fatwa dan Penerapan al-Kafalah dalam Perbankan Syariah)

Written By Unknown on Friday, November 25, 2016 | 1:46 AM



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Salah satu fungsi  lembaga keuangan syari’ah, khususnya bank syari’ah adalah memberikan jaminan kepada nasabahnya. Jaminan yang di berikan oleh lembaga keuangan syari’ah adalah jaminan yang di berikan oleh penanggung kepada pihak ke tiga untuk memenuhi kewajiban pihak ke dua atau yang di tanggung. Hal ini berarti bahwa lembaga keuangan syari’ah menyediakan jasa untuk memenuhi salah satu kebutuhan nasabahnya. Sebab dalam rangka menjalankan usahanya , adakalanya seorang nasabah sering memerlukan penjaminan kepada pihak lain. Untuk memenuhi kebutuhan usaha tersebut, maka lembaga keuangan syari’ah berkewajiban untuk menyediakan satu skema penjaminan yang berdasarkan prinsi-prinsip syari’ah.
Sesuai dengan prinsip operasioanalnya, jaminan yang di berikan oleh lembaga keuangan syari’ah itu mesti sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah. Kesesuaina dengan prinsip-rinsip syari’ah ini, antara lain, di tandai dengan adanya kad yang melegalkan atas jaminan yang di berikan oleh lembaga keuangan syari’ah. Akad yang terkait secara erat dengan jaminan yang di berikan lembaga keuangan syari’ah kepada nasabah ini adalah akad kafalah.
Oleh karena itu begitu signifikannya keberadaan kafalah di lembaga keuangan syari’ah, maka tampaknya perlu ada penjelasan lebih lanjut tentang apa sesungguhnya yang di maksud dengan kafalah itu? Dan bagaimana implementasi kafalah di lembaga syari’ah keuangan syari’ah. Jawaban atas pertanyaan itulh yang akan di deskripikan pada penjelasan berikut.



B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian al- kafalah?
2.      Bagaimanakah landasan hukum kafalah?
3.      Bagaimanakah rukun dan syarat kafalah?
4.      Bagaimanakah pelaksanaan kafalah?
5.      Bagaimanakah aplikasi kafalah dalam perbankan syari’ah?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan kafalah.
2.      Untuk mengetahui bagaimana landasan hukum kafalah.
3.      Untuk mengetahui bagaimana rukun dan syarat kafalah.
4.      Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kafalah.
5.      Untuk mengetahui bagaimana aplikasi kafalah dalam perbankan syari’ah.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Al-Kafalah
1.      Menurut Bahasa
Al-Kafalah secara etimologi berarti الضمان  (jaminan),[1] الحمالة (beban), dan الزعامة (tanggungan). Kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
2.      Menurut syara’
a.       Menurut Madzhab Syafi’i
Al-Kafalah adalah “akad yang menetapkan iltizam hak yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya.[2]
b.      Menurut Madzhab Maliki
Al-Kafalah adalah “Orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda.[3]
c.       Menurut Madzhab Hanafi
Kafalah memiliki dua makna, yaitu pertama, kafalah berarti menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam penagihan dengan jiwa, utang atau zat benda, dan kedua kafalah berarti menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam pokok (asal) utang.[4]
d.      Menurut Madzab Hanbali
Madzab hanbali mengartikan kafalah dengan iltizam, sesuatu yang di wajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut yang di bebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak menghadirkan dua harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak.[5]

B.     Landasan Hukum Kafalah
1.      Al-Qur’an
Dasar hukum untuk akad memberi kepercayaan ini dapat dipelajari dalam Al-Qur’an pada bagian yang mengisahkan Nabi Yusuf.

قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَآءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ {72} 
Artinya : Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya". (Q.S. Yusuf : 72).
Dalam tafsir Aisarut Tafasir disebutkan bahwa Para pembantu raja menjawab, "Kami sedang mencari bejana tempat minum raja. Kami akan memberikan hadiah bagi orang yang menemukannya berupa makanan seberat beban unta." Pemimpin mereka pun menyatakan dan menegaskan hal itu dengan berkata, "Aku menjamin janji ini."
Ibnu Abbas berkata bahwa yang dimaksud dengan za’im dalam ayat ini adalah kafiil penjamin.

2.      Al-Hadits
Jabir bin Abdullah ra. Berkata:
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا, فَغَسَّلْنَاهُ, وَحَنَّطْنَاهُ, وَكَفَّنَّاهُ, ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَا: تُصَلِّي عَلَيْهِ? فَخَطَا خُطًى, ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ دَيْنٌ? قُلْنَا: دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ, فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ, فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُحِقَّ اَلْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا اَلْمَيِّتُ? قَالَ: نَعَمْ, فَصَلَّى عَلَيْهِ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ



Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyolatkannya?. Beliau melangkan beberapa langkah kemudian bertanya: "Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali.Maka Abu Qotadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya." Ia menjawab: Ya. Maka beliau menyolatkannya. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini dari Salamah bin al-Akwa’ dan disebutkan bahwa utangnya tiga dinar.Di dalam riwayat Ibn Majah dari Abu Qatadah, ia ketika itu berkata, “Wa anâ attakaffalu bihi (Aku yang menanggungnya).” Di dalam riwayat al-Hakim dari Jabir di atas terdapat tambahan sesudahnya: Nabi bersabda kepada Abu Qatadah, “Keduanya menjadi kewajibanmu dan di dalam hartamu sedangkan mayit tersebut terbebas?” Abu Qatadah menjawab, “Benar.” Lalu Nabi saw. menshalatkannya. Saat bertemu Abu Qatadah Rasul saw. bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh dua dinar?” Akhirnya Abu Qatadah berkata, “Aku telah membayar keduanya, ya Rasulullah.” Nabi saw. bersabda, “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.” (HR al-Hakim).[6]



C.    Hikmah
Kafalah ( jaminan) merupakan salah satu ajaran Islam. Jaminan pada hakikatnya usaha untuk memberikan kenyamanan dan keamanan bagi semua orang yang melakukan sebuah transaksi. Untuk era sekarang ini kafalah adalah asuaransi. Jaminan atau asuaransi telah disyariatkan oleh Islam ribuan tahun silam. Ternyata, untuk masa sekarang ini kafalah (jaminan) sangat penting, tidak pernah dilepaskan dalam bentuk transaksi seperti uang apalagi transaksi besar seperti bank dan sebagainya. Hikmah yang dapat diambil adalah kafalah mendatangkan sikap tolong menolong, keamanan, kenyamanan, dan kepastian dalam bertransaksi. Wahbah Zuhaily mencatat hikmah tasry dari kafalah untuk memperkuat hak, merealisasikan sifat tolong menolong, mempermudah transaksi dalam pembayaran utang, harta dan pinjaman. Supaya orang yang memiliki hak mendapatkan ketenangan terhadap hutang yang dipinjamkan kepada orang lain atau benda yang dipinjam.[7]

D.    Rukun dan Syarat al-Kafalah.
Adapun rukun kafalah sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa lileratur fikih terdiri atas:
1.      Pihak penjamin/penanggung (kafil, dhamin, za’im), dengan syarat baligh(dewasa), berakal sehat, berhak penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
2.      Pihak yang berhutang/yang dijamin (makful 'anhu, 'ashil, madhmun’anhu), dengan syarat sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.
3.      Pihak yang berpiutang/yang menerima jaminan (makful lahu, madhmun lahu),dengan syarat diketahui identitasnya, dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat.
4.      Obyek jaminan (makful bih,madhmun bih),merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang (ashil), baik berupa utang, benda, orang maupun pekerjaan, bisa dilaksanakan oleh pejamin, harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan, harus jelas nilai,jumlah, dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syari'ah (diharamkan).
5.      Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz ijab dan kabul itu berarti menjamin.
6.      Tidak bertentangan dengan syariat Islam.[8]
E.     Macam-Macam Kafalah
a.      Kafalah Bi Al-Mal, adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang. Bentuk kafalah ini merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada para nasabahnya dengan imbalan/fee tertentu.
b.      Kafalah Bi An-Nafs, adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam hal ini, bank dapat bertindak sebagai Juridical Personality  yang dapat memberikan jaminan untuk tujuan tertentu.[9]
c.       Kafalah Bi At-Taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin pengembalian barang sewaan pada saat masa sewanya berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk keperluan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan, leasing company. Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan, dan pihak bank diperbolehkan memungut uang jasa/fee  kepada nasabah tersebut.
d.      Kafalah Al-Munjazah, adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu dan untuk tujuan/kepentingan tertentu. Dalam dunia perbankan, kafalah model ini dikenal dengan bentuk performance bond  (jaminan prestasi).
e.       Kafalah Al-Mu’allaqah, Bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, di mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula.[10]

F.     Kebolehan dan Batas Tanggung Jawab Penanggung (Kafil)
Hukum Kafalah (menanggung seseorang) adalah boleh apabila orang yang ditanggung memiliki tanggung jawab atas hak Adami (menyangkut hak manusia).Misalnya menanggung orang yang mendapat hukuman Qishas. Hukuman itu merupakan tanggung jawab yang hampir sama dengan tanggung jawab atas harta benda. Maksud menanggung disini adalah, menanggung orangnya agar tidak melarikan diri menghindari hukuman, bukan menanggung hukuman atas orang itu.
Menanggung orang yang dihukum, akibat dosa terhadap hak Allah SWT yaitu hudud tidaklah sah.Hudud adalah sanksi terhadap suatu kemaksiyatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh syara’ guna mencegah kemaksiyatan yang serupa.Misalnya, dihukum karena berzina, homoseksual, menuduh berzina, meminum khamar, murtad, pembegal, dan mencuri.Bahkan kita diperintahkan untuk menghalangi perbuatan-perbuatan tersebut serta memberantasnya sekuat tenaga. Nabi Saw., bersabda :“Tidak ada kafalah dalam had” (HR. Al-Baihaqi)
Jika orang yang ditanggung (yang akan dihukum) meninggal dunia, orang yang menanggung tidak dikenai hukuman hudud , seperti apa yang sedianya akan dijatuhkan kepada orang yang ditanggung. Ia tidak harus menggantikannya sebagaimana kalau menanggung harta benda.[11]

G.    Pembayaran Kafil (Orang Yang Menjamin)
Apabila orang yang menjamin (dhamin/kafil) memenuhi kewajibannya dengan membayar hutang orang yang ia jamin, dan pembayaran itu atas perintah/izin makful ‘anhu. Maka ia boleh meminta kembali uang dengan jumlah yang sama kepada orang yang ia jamin (makful ‘anhu). Dalam hal ini keempat imam madzhab bersepakat.
Namun mereka berbeda pendapat, apabila penjamin (kafil) sudah membayar hutang/beban orang yang ia jamin (makful ‘anhu) tanpa perintah/izin orang yang dijamin. Menurut as-Syafi’i dan Abu Hanifah bahwa membayar hutang orang yang dijamin tanpa izin darinya adalah sunnah, penjamin (kafil) tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada orang yang dijamin (makful ‘anhu). Contohnya seperti kasus Abu Qatadah ra.yang membayar hutang si mayit. Menurut Mazhab Maliki, penjamin (kafil) berhak menagih kembali kepada orang yang dijamin (makful ‘anhu).Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafil/dhamin tidak berhak menagih kembali kepada orang yang dijamin (makful ‘anhu) atas apa yang telah dia bayarkan, baik dengan perintah/izin makful ‘anhu maupun tidak. Kecuali orang yang dijamin meminta diqardhunkan (aqad hutang ke penjamin). Dan itu berarti si penjamin boleh menagih kembali atas apa yang dia bayarkan.[12]

H.    Penerapan al-Kafalah dalam Perbankan Syariah
Dalam mekanisme system perbankan prinsip-prinsip kafalah dapat diaplikasikan dalam bentuk pemberian jaminan bank dengan terlebih dahulu diawali dengan pembukaan fasilitas yang ditentukan oleh bank atas dasar hasil analisa dan evaluasi dari nasabah yang akan diberikan fasilitas tersebut. Fasilitas kafalah yang diberikan akan terlihat pada perkiraan administratif baik berupa komitmen maupun kontinjen.
Fasilitas yang dapat diberikan sehubungan dengan penerapan prinsip kafalah tersebut adalah fasilitas bank garansi dan fasilitas letter of credit. Fungsi kafalah adalah pemberian jaminan oleh bank bagi pihak-pihakyang terkait untuk menjalankan bisnis mereka secara lebih amandan terjamin, sehingga adanya kepastian dalam berusaha/bertransaksi, karena dengan jaminan ini bank berarti akan mengambil alih risiko/kewajiban nasabah, apabila nasabah wanprestasi/lalai dalam memenuhi kewajibannya.
Pihak bank sebagai lembaga yang memberikan jaminan ini, juga akan memperoleh manfaat berupa peningkatan pendapatan atas upah yang mereka terima sebagai imbalan atas jasa yang diberikan, sehingga akan memberikan kontribusi terhadap perolehan pendapatan mereka.[13]

I.       Fatwa DSN Tentang Kafalah
Ketentuan hukum dalam fatwa DSN MUI no. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah ini adalah sebagai berikut :
Pertama: Ketentuan Umum Kafalah
1.      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2.      Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan.
3.      Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Kedua: Rukun dan Syarat Kafalah
1.      Pihak Penjamin (Kafiil)
a.       Baligh (dewasa) dan berakal sehat.
b.      Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
2.      Pihak Orang yang berutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)
a.       Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin.
b.      Dikenal oleh penjamin.
3.      Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu)
a.       Diketahui identitasnya.
b.      Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.
c.       Berakal sehat.
4.      Obyek Penjaminan (Makful Bihi)
a.       Merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan.
b.      Bisa dilaksanakan oleh penjamin.
c.       Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
d.      Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
e.       Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).
Ketiga : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.[14]
J.      Bank Garansi
Bank garansi yang diterbitkan suatu bank merupakan pernyataan tertulis untuk mengikatkan diri kepada penerima jaminan (pemilik proyek) apabila di kemudian hari pihak yang dijamin (pengelola proyek) tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima jaminan (pemilik proyek) sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah ditentukan.Oleh karena itu, di dalam mekanisme bank garansi terdapat tiga pihak yang terkait, yaitu bank sebagai penjamin, nasabah pengelola proyek sebagai yang dijamin atas permintaannya, dan penerima jaminan (pemilik proyek).
Bank dalam pemberian garansi ini, biasanya meminta kepada nasabah pengelola proyek setoran jaminan sejumlah tertentu (sebagian atau seluruhnya) dari total nilai obyek yang dijaminkan. Bank juga dapat mensyaratkan nasabah pengelola proyek untuk menempatkan sejumlah dananya sebagai rahn.Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah/titipan.Karena hal tersebut, bank boleh mendapatkan pengganti biaya gaji karyawan bank dan biaya administrasi.
Surat garansi yang dikeluarkan oleh bank garansi dapat di bagi menjadi enam bentuk surat penjaminan garansi yang dikeluarkan oleh bank penjamin kepada yang dijamin agar proyek usaha atau bisnisnya bisa selesai berdasarkan jangka waktu yang telah disepakati dengan pemilik proyek
1.      Bid Bond. Secara umum bid bond penngertiannya sama dengan penjabaran arti dsan makna dari bank garansi di atas . yakin bank sebagai pihak penjamin mengeluarkan jaminan atas permintaan nasabah untuk kepentingan pemilik proyek agar pengerjaan proyek tadi dapat selesai dengan seksama dan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan di awal 2.      Performance Bond. Hampir sama dengan bid bond Jaminan yang diberikan oleh bank penjamin atas permintaan nasabah untuk kepentingan pihak pemilik proyek . hanya saja dalam Permormance Bond justru dsengaja ditekankan kepada pihak yang mengelola proyek terikat dengan kontrak dan hal ini juga menyebabkan pihak yang mengelola proyek tadi bisa dengan aman dan nyaman serta sungguh-sungguh dalam pengerjaan proyek yang tentunya pihak pengelola sangat ditekankan tanggung jawabnya kepada kepada pemilik proyek
3.      Advance Payment Bond. Hampir sama dengan dua penjelasan di atas hanya saja yang menjadi perbedaannya antara bank penjamin , pihak yang dijamin , dan pihak yang terjmain adalah pembayaran di awal muka atau pembayaran termin oleh pemilik proyek kepada kontraktor
4.      Rentention Bond.Jaminan yang diterbitkan oleh bank atas permintaan nasabah sebagai madhmun lahu untuk kepentingan pemilik proyek yang menjadi mitra kerja nasabah . Ia berkaitan dengan pemeliharaan hasil pekerjaan /proyek sampai batas waktu yang telah diperjanjikan kontark kerja 5.      Custom Bond. Berkaitan erat dengan penangguhan bea masuk atas barang=-barang impor yang dimintakan penangguhan pembayarannya apanila memnuhi syarat-syarat yang ditetapkan penangguhan pembayarannnya.
6.      Shipping Bond. Adalah jaminan yang diterbitkan oleh bank atas permintaan nasabahnya, sehubungan dengan pengeluaran barang-barang impor dari pelabuhan/maskapai pelayaran, sebelum datangnya dokumen impor yang asli dari bank yang melakukan negosiasi.[15]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari makalah ini, dapat disimpulkan bahwa kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga (yang menerima jaminan) (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (pihak yang dijamin) (makful ‘anhu, ashil). Akad ini berlandaskan dalil baik dari al-qur’an maupun as-sunnah dan memiliki rukun-rukun yang harus dipenuhi.
Secara garis besar, kafalah dibagi menjadi dua bagian yaitu kafalah dengan jiwa (kafalah bin-nafs) dan kafalah dengan harta (kafalah bil-maal).
Kafalah dapat dilaksanakan dengan lima bentuk, yaitu, Kafalah Al-Mu’allaqah, Kafalah Al-Munjazah, Kafalah Bi At-Taslim, Kafalah Bi An-Nafs, Kafalah Bi Al-Mal,
Hukum Kafalah (menanggung seseorang) adalah boleh apabila orang yang ditanggung memiliki tanggung jawab atas hak Adami (menyangkut hak manusia). Tidak menyangkut hak Allah Swt.(hudud).
Jika orang yang menjamin memenuhi kewajibannya dengan membayar hutang orang yang ia jamin, dan atas perintah/izin yang dijamin, maka ia boleh meminta kembali uang dengan jumlah yang sama kepada orang yang ia jamin. Jika tidak atas perintah orang yang dijamin, maka penjamin (kafil) tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada orang yang dijamin (makful ‘anhu).
Dengan adanya kafalah pihak yang dijamin/pengelola proyek (makful ‘anhu) dapat menyelesaikan proyek dengan ditanggung pengerjaannya dan bisa selesai dengan tepat waktu atau efisien dengan jaminan pihak ketiga (bank/kafil) yang menjamin pengerjaannya. Sedangkan dengan adanya kafalah pihak yang menerima jaminan/pemilik proyek (makful lahu) menerima jaminan dari penjamin (dalam hal ini bank/kafil ) bahwa proyek yang diselesaikan oleh nasabah pengelola proyek tadi dapat selesai dengan tepat waktunya dan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq Sayyid. 1973. Fiqih Sunnah Beirut: Dar al-kitab al-Arabiyyah.
Al Juzayri,‘Abd al-Rahman. 1996. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah Beirut: Dar al-fikr.
Al-Asqani,Al-Hafidh Ibn Hajar. Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam. Jeddah: Al-Harmain.
Antonio, Muhammad Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan Jakarta:Tazkia Institute.
Al-Zuhaily,Wahabbah Al-Zuhaily. 2005. Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, jilid IV Beirut : Darul Fikri.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hasan, Abdullah Alwi Haji. 2006. Sales and Contracts Early Islamic Commercial Law. New Delhi: Kitab Bhayan.
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani.
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=159:fatwa
dsn-mui-no-no-11dsn-muiiv2000-tentang-kafalah-&catid=57:fatwa-dsn-mui
diakses tanggal 05 Mei 2016 pukul 08:44
Imron AL-Hushein, http://alhushein.blogspot.com/2012/01/kafalah-dan-aplikasinya
di-lembaga.html. Diakses tanggal 05/05/2016 pukul 09:26.
Zulkifli, Sunarto. 2001. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Jakarta:
Gema Insani.




[1] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Beirut: Dar al-kitab al-Arabiyyah, 1973), III/283
[2] ‘Abd al-Rahman al-Juzayri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-fikr, 1996), III/188
[3] Ibid., 190
[4] Ibid.
[5] Ibid., 191
[6] Al-Hafidh Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam (Jeddah: Al-Harmain.)Hal. 186.
[7] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan (Jakarta:Tazkia Institute.1999) hal. 232
[8] Wahabbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IV (Beirut : Darul Fikri, 2005) Hal 4143
[9] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2010) hal. 98.
[10] Abdullah Alwi Haji Hasan, Sales and Contracts Early Islamic Commercial Law (New Delhi: Kitab Bhayan. 2006) hal. 144.
[11] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani. 2001) Hal. 123.
[12] Op. Cit, Al-Hafidh Ibn Hajar Al-Asqalani, hal. 187.
[13] Imron AL Hushein,  http://alhushein.blogspot.com/2012/01/kafalah-dan-aplikasinya-di-lembaga.html. Diakses tanggal 05/05/2016 pukul 09:26
[14] http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=159:fatwa-dsn-mui-no-no-11dsn-muiiv2000-tentang-kafalah-&catid=57:fatwa-dsn-mui  diakses tanggal 5 Mei 2016 pukul 08:44
[15] Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah,(Jakarta: Gema Insani. 2001) hal. 79.

0 comments:

Post a Comment