Propellerads
Home » » Makalah Wadiah (Pengertian, Macam dan Aplikasi Wadiah dalam perbankan)

Makalah Wadiah (Pengertian, Macam dan Aplikasi Wadiah dalam perbankan)

Written By Unknown on Wednesday, November 23, 2016 | 1:40 AM



 BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Wadiah
Secara etimologi wadi’ah ( الودعة) berartikan titipan (amanah). Kata Al-wadi’ah berasal dari kata wada’a (wada’a – yada’u – wad’aan) juga berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu. Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan.
Dalam literatur fiqh, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya, disebabkan perbedaan mereka dalam beberapa hukum yang berkenaan dengan wadi’ah tersebut yaitu perbedaan mereka dalam pemberian upah bagi pihak penerima titipan, transaksi ini dikatagorikan taukil atau sekedar menitip, barang titipan tersebut harus berupa harta atau tidak.
            Secara terminologi wadi’ah menurut mazhab hanafi, maliki dan hambali. Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fiqh :
·         Ulama Hanafiyah :
تسليط الغير على حفظ ماله
“mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, (baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat)”
·         Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur Ulama) :
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”
·         Secara harfiah, Al wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak kepihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
·         Sementara itu menurut Menurut UU No 21 Tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.[1]
B.     Macam-macam Wadiah
1.      Wadiah Yad Dhamanah
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan (Wadi’i) dengan atau tanpa ijin pemilik barang/uang (Muwaddi), dapat memanfaatkannya dan bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan tersebut. “diriwayatkan dari Abu rafie bahwa Rasulullah SAW pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Maka diberinya unta qurban (berumur sekitar 2 tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW memerintahkan Abu rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu rafie kembali kepada Rasulullah SAW seraya berkata,”Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar berumur empat tahun. Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baiknya kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (HR Muslim).
2.      Wadiah Yad Amanah
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima (Wadi’i) tidak diperkenankan penggunaan barang/uang dari si penitip (Muwaddi) tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kelalaian yang bukan disebabkan oleh kelalaian si penerima titipan (Wadi’i). Dan sebagai gantinya si penitip (Muwaddi) wajib untuk membayar kepada orang yang dititipi (Wadi’i), namun boleh juga untuk tidak membayar asalkan orang yang dititipi tidak merasa keberatan dan menganggapnya sedekah.
Ada dalil yang menegaskan bahwa wadi’ah adalah akad tanpan jaminan, yaitu adalah :
1.      Amr Bin Syuaib meriwayatkan dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi SAW bersabda : “penerima titipan itu tidak menjamin”.
2.      Karena Allah menamakannya amanat, dan jaminan bertentangan dengan amanat.
3.      Penerima titipan telah menjaga titipan tersebut tanpa imbalan (tabarru). [2]
C.    Rukun Wadiah
1.      Muwaddi’ ( Orang yang menitipkan).
2.      Wadii’ ( Orang yang dititipi barang).
3.      Wadi’ah ( Barang yang dititipkan).
4.      Shighot ( Ijab dan qobul).
Syarat Rukun Yang dimaksud dengan syarat rukun di sini adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh rukun wadiah. Dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada Muwaddi’, wadii’ dan wadi’ah. Muwaddi’ dan wadii’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus balig, berakal dan dewasa. Sementara wadi’ah disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/ tangannya secara nyata.
Sifat akad wadiah Karena wadiah termasuk akad yang tidak lazim, maka kedua belah pihak dapat membatalkan perjanjian akad ini kapan saja. Karena dalam wadiah terdapat unsur permintaan tolong, maka memberikan pertolongan itu adalah hak dari wadi’. Kalau ia tidak mau, maka tidak ada keharusan untuk menjaga titipan.
Namun kalau wadii’ mengharuskan pembayaran, semacam biaya administrasi misalnya, maka akad wadiah ini berubah menjadi “akad sewa” (ijaroh) dan mengandung unsur kelaziman. Artinya wadii’ harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu wadii’ tidak dapat membatalkan akad ini secara sepihak karena dia sudah dibayar.
D.    Batasan-Batasan Dalam Menjaga Wadi`Ah (Titipan)
Standar batasan-batasan dalam menjaga barang titipan biasanya disesuaikan dengan jenis akadnya dan sebelum akad diikrarkan batasan-batasan ini harus diperjelas seperti al-wadi`ah bighar al- `ajr (wadi`ah tanpa jasa) yaitu wadi` tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan barang yang yang bukan karena kelalaiannya dan ia harus menjaga barang tersebut sebagaimana barangnya sendiri. 
1)      Al-wadi`ah bi `ajr (wadi`ah dengan jasa) ialah wadi` hanya menjaga barang titipan sesuai dengan yang diperjanjikan tanpa harus melakukanseperti halnya tradisi masyarakat.
2)      Kecerobohan/kelalaian (tagshir) dari pihak penerima titipan itu biasa terjadi dan sering terjadi.  Adapun kelalaian itu banyak ragamnya namun yang biasa terjadi ialah  menjaga titipan tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh mudi`.  Ini biasa terjadi pada wadi`ah bi `ajr, namun bila wadi` lalai dari yang diamanatkan maka wadi` harusbertangggung jawab terhadap segala kerusakan barang titipan tadi. 
3)      Kesalahan yang lain membawa barang titipan bepergian (safar) tanpa ada sebelumnya pembolehan dari mudi`, maka wadi` harus bertanggung jawab atas kehilangan barang tersebut, dalam hal ini wadi`sedang tidak bepergian.  Apabila wadi` menerima wadi`ah sedang ia dalam bepergian maka wadi` sudah bertanggung jawab terhadap barang tersebut selama ia dalam perjalanan sampai ia pulang.  Seterusnya kesalahan yang lain adalah menitipkan wadi`ah kepada orang lain yang bukan karena udzur, tidak melindungi barang titipan dari hal-hal yang merusak atau hilang maka penerima titipan harus mengganti dengan yang sejenis atau sama nilainya (qima).
4)      Ta`adli hampir sama dengan taqshir bedanya ialah taqshir adalah kelalaian penerima titipan karena ia tidak mematuhi akad wadi`ah sedangkan ta`addli adalah setiap perilaku yang bertentangan dengan penjagaan barang, diantara bentuk taqshir ialah menghilangkan barang dengan sengaja, memanfaatkan barang titipan (mengkonsumsi, menyewakan, meminjamkan dan menginvestasikan).[3]
E.     Aplikasi Dalam Perbankan
1.      Aplikasi Wadiah Yad Amanah
Dalam perbankan syariah wadiah yad amanah di aplikasikan untuk penitipan barang-barang berharga dan membebankan fee atas penitipan barang tersebut. Adapun beberapa barang yang bisa dititipkan antara lain:
1.1.Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional tempat penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak dimana nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.
1.2.Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
1.3.Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga mempunyai nilai uang)
2.      Aplikasi Wadiah Yad Dhamanah
Dalam perbankan syariah akad wadiah yad dhamanah di aplikasikan kedalam dua jenis produk, yaitu:
2.1.Giro
Secara umum, yang dimaksud dengan giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya atau dengan pemindahbukuan. Adapun yang dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
2.2.Giro Wadiah
Yang dimaksud dengan giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasar akad wadiah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Dalam konsep wadiah yad dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Hal ini berarti bahwa wadiah yad dhamanah mempunyai implikasi hukum yang sama dengan qardh, yakni nasabah bertindak sebagai pihak yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai pihak yang dipinjami. Dengan demikian, pemilik dana dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk memberikan imbalan atas penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang titipan tersebut.
Dalam kaitannya dengan produk giro. Bank syariah menerapkan prinsip wadiah yad dhamanah, yakni nasabah bertindak sebagai penitip yang memeberikan hak kepada bank syariah untuk menggunakan dan memenfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan bank syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi yang disertai hak untuk mengelola dana titipan dengan tanpa mempunyai kewajiban memberikan bagi hasil dari keuntungan pengelolaan dana tersebut. Namun demikian, bank syariah diperkenankan memberikan insensif berupa bonusndengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya.
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa giro wadiah mempunyai beberapa ketentuan sebagai berikut:
1.      Bersifat titipan.
2.      Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
3.      Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian bonus yang bersifat sukarela dari pihak bank.
2.3.Tabungan
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu[3]. Adapun yang dimaksud dengan tabungan syariah adalah tabungan yang dijalankan berdasar prinsip-prinsip syariah.Berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah
1.      Tabungan Wadiah
Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasar akad wadiah, yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiapsaat jika pemiliknya menghendaki, berkaitan dengan produk tabungan wadiah, bank syariah menggunakan akad wadiah yad dhamanah. Dalam hal ini, setiap nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada bank syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan bank syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi dana atau barang yang disertai hak untuk menggunakan dan memanfaatkan dana atau barang tersebut, sebagai konsekuensinya, bank bertanggung jawab terhadap keutuhan harta titipan tersebutnserta mengembalikannya kapan saja pemiliknya menhendaki, di sisi lain, bank juga berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang tersebut.
Mengingat wadiah yad dhamanah ini mempunyai implikasi hukum sama dengan qardh, maka nasabah penitip dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk membagihasilkan keuntungan harta tersebut. Namun demikian, bank diperkenankan memberi bonus kepada pemilik harta titipan sela tidak disyaratkan di muka. Dengan kata lain, pemberian bonusnmerupakan kebijakan bank syariah semata dan bersifat sukarela.
Dari pembahasan di atas dapat dinyatakan beberapa ketentuan umum dari tabungan wadiah tersebut sebagai berikut:
1.      Bersifat simpanan,
2.      Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan, dan
3.      Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian bonus yang bersifat sukarela dari pihak bank.[4]
BAB III
Kesimpulan
Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan tidak wajib menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka diwajibkan menggantinya.
Wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum dain/piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai proyeknya. Adanya kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki hasilnya dan menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan utama antara wadi’ah dan dain (hutang-piutang) . Dengan demikian, bila ketiga karakter ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka secara fakta dan hukum akad ini berubah menjadi akad hutang piutang dan bukan wadi’ah.




[1] http://eki-blogger.blogspot.co.id

[2] http://muamalah-10.blogspot.co.id

[3] http://apakabarakta.blogspot.co.id

0 comments:

Post a Comment