BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gadai
Pengertian hukum gadai dalam fiqh Islam disebut ar-rahn. Ar-rahn adalah
suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.
Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam, yang
berarti “tetap” dan “kekal”, seperti dalam kalimat maun rahn, yang
berarti air yang tenang. Hal itu,berdasarkan
firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat 38.
Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup
dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan
makna yang bersifat materiil. Karena itu, secara bahasa ar-rahn berarti
‘menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang”.
Pengertian
gadai (rahn) secara bahasa seperti diungkapkan di atas adalah tetap,
kekal, dan jaminan; sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandera
sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, dan dapat di ambil
kembali sejumlah harta yang di maksudkan sesudah di tebus. Namun, pengertian gadai yang terungkap dalam Pasal 1150 Kitab Undang –
Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai
piutang atas suatu barang bergerak, yaitu barang bergerak tersebut
diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau
orang yang lain atas nama orang yang mempunyai utang.[1]
B. Rukun dan Syarat Rahn
1. Rukun
Gadai
a.
Rahin (yang menggadaikan)
Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan
memiliki barang yang akan digadaikan.
b.
Murtahin (yang menerima gadai)
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin
untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai)
c.
Marhun (barang yang digadaikan)
Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan
jaminan dalam mendapatkan utang.
d.
Marhun bih (utang)
Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin
atas dasar besarnya taksiran marhun.
e.
Sighat
Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam
melakukan transaksi gadai.
2. Syarat
Gadai
a. Rahin
dan Murtahin
Pihak-pihak yang
melakukan perjanjian rahn, yakni rahin dan murtahin harus
mengikuti syarat-syarat berikut kemampuan, yaitu berakal sehat. Kemampuan juga
berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi pemilikan.
b. Sighat
1.
Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan
juga dengan suatu waktu di masa depan.
2.
Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian
utang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat
tertentu atau dengan suatu waktu di masa depan.
c. Marhun
bih (utang)
1.
Harus merupakan hak yang wajib diberikan/diserahkan
kepada pemiliknya.
2.
Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi utang
tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak sah.
3.
Harus dikuantifikasi/dapat dihitung jumlahnya. Bila
tidak dapat diukur/tidak dikualifikasi rahn itu tidak sah
d. Marhun (barang)
Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa
syarat, antara lain :
1.
Harus diperjualbelikan.
2.
Harus berupa harta yang bernilai.
3.
Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah.
4.
Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak
sah untuk digadaikan, harus berupa barang yang diterima secara langsung.
5.
Harus dimiliki oleh rahin (peminjam/pegadai)
setidaknya harus seizin pemiliknya.[2]
C.
Implementasi Rahn Dalam Pegadaian Syariah
Implementasi operasional pegadaian
syariah hampir bermiripan dengan pegadaian konvensional. Seperti halnya
pegadaian konvensional, pegadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan
jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat
sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang
bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak
relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman,
nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja
dengan waktu proses yang juga singkat. Namun disamping beberapa kemiripan dari
beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi, dan
pendanaan, pegadaian syariah memiliki ciri tersendiri yang implementasinya
sangat berbeda dengan pegadaian konvensionsal.
Sesuai dengan landasan konsep rahn,
pada dasarnya pegadaian syariah berjalan di atas dua akad transaksi syariah
yaitu:
- Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
- akad Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakuakan akad (Nugrahaa, 2004).
Adapun teknis pelayanan dalam
pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
- Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan.
- Pegadaian syariah dan nasabah menyepakati akad gadai. Akad ini meliputi jumlah pinjaman, pembebanan biaya Jasa Simpan dan biaya Administrasi, dan jatuh tempo pengembalin pinjaman, yaitu 120 hari (4 bulan).
- Pegadaian syariah menerima biaya Administrasi dan biaya Jasa Simpan oleh nasabah.
- Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh tempo. Apabila pada saat jatuh tempo nasabah belum dapat mengembalika uang pinjaman, dapat diperpanjang 1(satu) kali masa jatuh tempo, demikian seterusnya.
- Apabila nasabah tidak dapat mengembalikan uang pinjaman dan tidak memperpanjang akad gadai, selanjutnya pegadaian melakukan kegiatan pelelangan untuk menjual barang tersebut dan mengambil pelunasan uang pinjaman oleh nasabah dari hasil penjualan barang gadai.[3]
D.
Berakhirnya Rahn
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak
yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh ada syarat-syarat, semisal ketika akad
gadai diucapkan “apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga
waktu yang telah ditentukan, maka marhun (jaminan) menjadi milik murtahin
sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran telah
ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil dari pada
utang rahin (orang yang memberikan jaminan) yang harus dibayar,
yang mengakibatkan kerugian pada pihak murtahin. Sebaliknya ada
kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran lebih besar
jumlahnya dari pada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan rahin.
Apabila syarat diatas diadakan dalam
akad gadai, akad gadai tetap sah tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu
diperhatikan. Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan, rahin
belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual jaminan atau marhun,
pembeliannya boleh murtahin (orang yang menerima) itu sendiri atau yang
lain tetapi harus dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu. Hak murtahin
hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun
lebih besar dari jumlah utangnya, sisanya dikembalikan pada rahin.
Sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin
masih menanggung pembayaran kekurangannya. Berdasarkan pada hadis yang
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi yang artinya “Rahn itu tidak boleh dimiliki,
rahn itu milik orang yang menggadaikan. Ia berhak atas keuntungan dan
kerugiannya.”
Dapat disimpulkan bahwa akad rahn
berakhir dengan hal-hal sebagai berikut:
a) Barang gadai
telah diserahkan kembali pada pemiliknya.
b) Rahin telah membayar hutangnya.
c) Pembebasan
hutang dengan cara apapun, meskipun dengan pemindahan oleh murtahin.
d) Pembatalan
oleh murtahin meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
e) Rusaknya
barang rahin bukan oleh tindakan atau pengguna murtahin.
f) Setiap ada
awal pasti ada akhir, setiap permasalahan pasti ada penyelesaian. Begitu juga
dengan gadai pasti akan ada pula hapus atau berakhirnya hak gadai. Berakhirnya
persetujuan gadai adalah merupakan rentetan, setelah terlaksananya
persetujuan.
Mengenai
cara berakhirnya atau hapusnya suatu gadai menurut KUH Perdata adalah sebagai
berikut:
a) Hak gadai
hapus apabila hutang telah dibayar oleh si berutang.
b) Hak gadai
hapus apabila barang yang di gadaikan keluar dari kekuasaan si penerima gadai.
c) Apabila
sudah dilepaskan oleh penerima gadai melunasi atas dasar atau kemauan sendiri
dari penerima gadai maka penerima gadai mengembalikan barang yang digadai pada
pemberi gadai.
d) Karena
persetujuan gadai bersifat uccessoir yang jika perjanjian pokok berakhir maka
dengan sendirinya gadai pun berakhir.
e) Bila barang
yang digadaikan musnah atau terbakar diluar kehendak atau kemampuan pemegang
gadai.
f) Barang gadai
menjadi milik dari si pemegang gadai atas kesepakatan atau persetujuan dari si
pemberi gadai (pengalihan hak milik atas kesepakatan).
Berakhirnya gadai dapat juga
berakhir apabila tanah gadai musnah karena bencana alam atau lainnya, maka
perjanjian gadai berakhir dan pemegang gadai tidak berhak untuk meminta uang
gadainya kembali dari penggadai. Benda gadai dilepaskan dari penguasaan pemberi
gadai (debitur), maka benda gadai harus dialihkan dalam penguasaan Perum
Pegadaian (kreditur).
Berdasarkan Pasal 1152 ayat (4) KUH
Perdata dijelaskan si kreditur (pemegang gadai) akan tetap mendapatkan hak
gadai tersebut meskipun si pemberi gadai(debitur) bukanlah orang yang memiliki
barang tersebut.dalam kasus ini, pegadaian sebagai pemegang gadai kreditur
beritikad baik, sehingga kreditur tersebut yang telah menerima benda gadai orang
lain yang berstatus sebagai detentor dari benda yang digadaikan, tetap
mendapatkan hak gadai secara sah atas benda itu. Karena kreditur
pemegang gadai(pegadaian) dilindungi terhadap pemilik (eigenaar dari
benda gadai).[4]
BAB III
KESIMPULAN
Dari
sepenggal pembahasan diatas, dapat kita ketahui bahwa pengartian Rahn menurut
syariat Islam berarti penahanan atau pengekangan. Sehingga dengan adanya akad
gadai menggadai, kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama, yang punya
utang bertanggung jawab melunasi utangnya dan yang berpiutang bertanggug jawab
menjamin keutuhan barang jaminannya. Apabila utang telah dibayar maka pemahaman
oleh sebab akad itu dilepas, dan keadaannya bebas dari tanggung jawab dan
kewajiban masing-masing.
Dasar hukum rahn itu
sendiri diambil dari Al-Qur’an dan sunnah Rasullah SAW dan ulama Fiqih
sepakat mengatakan bahwa akad rahn itu dibolehkan karena banyak kemasyalatan
yang terkandung didalamnya dalam rangka hubungan antara sesama manusia.
0 comments:
Post a Comment