Propellerads
Home » » Makalah Musyarakah (Mekanisme Musyarakah Dalam Perbankan Syariah)

Makalah Musyarakah (Mekanisme Musyarakah Dalam Perbankan Syariah)

Written By Unknown on Tuesday, November 22, 2016 | 10:20 AM

A.    Pengertian Musyarakah
Istilah lain dari musyarakah adalah syarikah atau syirkah. Menurut bahasa arab, syirkah berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yasyruku (fi’il mudhari’), syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata dasar); yang artinya menjadi sekutu atau syarikat (kamus al munawar) menurut arti asli bahasa arab, syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi satu bagian dengan bagian lainnya. Sedangkan pengertian secara terminologi menurut beberapa tokoh adalah:
a)     Menurut Ulama Malikiyah, syirkah adalah Suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.
b)      Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah syirkah aadlah hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.
c)      Menurut Ulama Hanafiyah syirkah adalah akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.
d)     Menurut sayyid sabiq syirkah adalah akad antara dua orang dalam (penanaman) modal dan (pembagian) keuntungan.
e)      Menurut taqiyuddin abi bakr Muhammad al husaini syirkah adalah ungkapan tentang penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih menurut cara yang telah diketahui
f)       Menurut wahbah az zuhaili syirkah adalah kesepakatan dalam pembagian hak dan usaha.
            Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, yang dinamakan syirkah yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang bersyerikat.
            Musyarakah adalah akad kerjasama yang terjadi diantara para pemilik modal (mitra musyarakah) untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal.[1]
B.     Rukun dan syarat syirkah
            Dari segi hukumnya melakukan kerjasama dengan menggunakan sistem musyarakah adalah suatu hal yang dibenarkan dalam Islam. Keabsahannya juga bergantung pada syarat-syarat dan rukun yang telah ditetapkan. Adapun rukun  musyarakah yang disepakati oleh jumhur ulama adalah:
a.      Shigat (lafal) ijab dan qabul
b.      Pelaku akad, yaitu para mitra usaha
c.       Obyek akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh).
Sighah al-aqad merupakan rukun akad yang terpenting, karena melalui akad inilah diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad (transaksi). Sighah al-aqad dinyatakan melalui ijab dan kabul, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Tujuan akad itu harus jelas dan dapat dipahami
b.      Antara ijab dan kabul harus dapat kesesuaian
c.       Pernyataan ijab kabul itu harus sesuai dengan kehendak masing-masing, dan tidak boleh ada yang meragukan.
Dalam akad kerja sama musyarakah, pernyataan ijab qabul harus menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak. Pihak-pihak yang melakukan akad juga harus cakap hukum seperti berkompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Selain itu juga setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan. Selain itu juga setiap mitra kerja boleh mewakilkan kerjanya kepada mitra yang lain dengan perjanjian yang disepakati bersama.
            Sedangkan syarat syirkah secara umum adalah:
a.       Harus mengenai tasharuf yang dapat diwakilkan
b.      Pembagian keuntungan yang jelas
c.       Pembagian keuntungan tergantung kepada kesepakatan, bukan kepada besar kecilnya modal atau kewajiban.[2]
C.    Macam-Macam Syirkah
Menurut Muhamad (2003), syirkah terdiri dari : syirkah amlak dan syirkah aqud. Sedangkan syirkah uqud penulis mengutip dari pendapat An-Nabhani (1990) terdiri dari:1.syirkah inan 2.syirkah abdan 3.syirkah mudharabah 4.syirkah wujuh dan 5.syirkah mufawadhah (An-Nbhani, 1990: 148). An-Nabhani berpendapat oleh memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.
Pada point ini akan dijelaskan tentang pembagian jenis dan macam syirkah yang terdapat dalam kitab fiqh dan pendapat para fuqaha. Pada garis besarnya syirkah dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut :
1. Syirkah al-amlak Yaitu persekutuan dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu barang. Syirkah al-amlak ini terbagi dalam dua jenis.
a.   Ijbariyah yaitu syirkah yang terjadi tanpa adanya kehendak masing-masing pihak, seperti persekutuan antara ahli waristerhadap harta warisan tertentu sebelum dilakukan pembagian.
b.   Ikhtiariyah yaitu syirkah yang terjadi atas perbuatan dan kehendak pihak-pihak yang berserikat seperti dua orang yang bersepakat untuk berserikat membeli sebuah rumah secara patungan.
2. Syirkah al-uqud ,Yaitu sebuah perserikatan antara dua pihak atau lebih dalam hal usaha, modal dan keuntungan. Mengenai syirkah al-uqud ini para ulama membagi menjadi  bermacam-macam jenis, Fuqaha Hanafiyah membedakan jenis syirkah menjadi tiga macam yaitu, syirkah al-amwal, syirkah al-a’mal, syirkah alwujuh, masing-masing bersifat syirkah al-mufawadhah dan ‘Inan. Dan fuqaha Hanabilah membedakan menjadi lima macam syirkah yaitu Syirkah al-’inan, syirkah al-mufawadhah, syirkah al-abdan dan syirkah al-wujuh serta syirkah al-mudharabah dan yang terakhir menurur fuqaha Malikiyah dan Syafiiyah membedakanya menjadi empat jenis syirkah yaitu syirkah al-’inan, syirkah al-mufawadhah, abdan dan wujuh.
Dari paparan para fuqaha di atas, pembagian dari jenis syirkah tersebut dapat dihimpun menjadi dua kategori, kategori pertama merupakan kategori dari pembagian segi materi syirkah yaitu syirkah alamwal, a’mal, abdan dan wujuh, sedangkan kategori kedua adalah kategori dari segi pembagian posisi dan komposisi saham. Yaitu syirkah al-’inan, syirkah al-mufawadhah dan syirkah al-Mudharabah.
Dari berbagai jenis syirkah di atas maka akan lebih jelas bila kita menjelaskan dari masing-masing jenis syirkah tersebut :
a. Syirkah al-amwal adalah persekutuan antara dua pihak pemodal
atau lebih dalam usaha tertentu dengan mengumpulkan modal
bersama dan membagi keuntungan dan resiko kerugian
berdasarkan kesepakatan.
b. Syirkah al-a’mal adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi
untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan
dari pekerjaan itu misalnya kerjama dua orang arsitek untuk
mengerjakan satu proyek Syirkah ini disebut juga Syirkah abdan
atau Syirkah sana’i.



Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inan, abdan, mudharabah, dan wujuh. Menurut ulama malikiyah, yang sah hanya syirkah inan dan mudharabah (Wahbah Az Zuhaili, Al-fiqh al-islami wa Adillatuhu, 4/795). Sumber: Muhamad (2003)
Syirkah Inan
Syirkah inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal) (An-Nabhani, 1990: 148).
  Syirkah ini hukumnya berdasarkan dalil Sunah dan Ijma Sahabat. Dalam syirkah ini, disyatkan modalnya harus berupa uang (nuqud); sedangkan barang (urudh), misalnya rumah atau mobil , tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qimah al-urudh) pada saat akad.
Keuntungan idasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugiaan ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarik) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50% diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jami, bahwa Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata,
“ kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151.)
Syirkah Abdan
Syirkah abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa kontribusi modal(mal).
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, diisyratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150) tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng). Ibnu Mas’ud r.a pernah berkata (yang artinya).
“ aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’adbin abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apapun.”HR Abu Dawud dan al-Atsram).
Syirkah Mudharabah
Syirkah mudharabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan kpntribusi kerja (amal), sedangkan pihak lain memberikan kontribusi modal (mal).
Hukum syirkah mudharabah adalah ja’iz (boleh) berdasarkan dalil Sunnah (taqrir Nabi Saw.) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudharib/amil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat denagn syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal. Sebab, dalam mudharabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nbhani, 1990:152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaanya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. (Al-Khayyath, Asy-Syarikat fi asy-Syariah al-Islamiyyah,2/66)
Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh disebut juga syirkah ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-syarikat fi asy-syari’ah al-Islamiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujuh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tangan masyarakat.
Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang bersyirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa kontribusi modal dari masing-masing pihak.
An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang dimaksudkan dalam syirkah wujuh adalah kepercayaan finansial (tsiqah maliyah), bukan semata-mata ketokohan dimasyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah wujuh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepecayaan finansial (tsiqah maliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan. ( An-Nabhani, 1990:155-156).
Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufawadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah diatas (syirkah inan, abdan ,mudharabah dan wujuh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufawadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainya. (An-Nabhani, 1990: 156).
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inan), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudharabah), atau di tanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujuh).[3]
D.    Mekanisme  Pembiayaan Musyarakah dalam Perbankan Syari’ah
Dari sekian banyak jenis musyarakah tersebut diatas hanya syirkah ‘inan yang paling tepat dan dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah. Dimana, bank dan nasabah keduanya memiliki modal. Modal bank dan modal nasabah digunakan oleh pengelola sebagai modal untuk mengerjakan proyek. Pendapatan atau keuntungan yang diperoleh dari proyek dibagikan berdasarkan nisbah yang telah disepakati bersama.
Adapun mekanismenya yaitu:
1.      Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu.
2.        Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati seperti melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan.
3.        Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati.
4.        Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak.
5.        Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan.
6.        Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya.
7.        Dalam hal Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar (net realizable value) dan dinyatakan secara jelas jumlahnya.
8.        Jangka waktu Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah, pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah.
9.        Pengembalian Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah dilakukan dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode Pembiayaan, sesuai dengan jangka waktu Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah.
10.    Pembagian hasil usaha berdasarkan laporan hasil usaha nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan.
11.    Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi modal masing-masing.[4]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
a.       Jadi secara istilah musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
b.      Berdasarkan hukum yang diuraikan di atas, maka secara tegas dapat dikatakan bahwa kegiatan syirkah dalam usaha diperbolehkan dalam Islam, sebagai dasar hukumnya telah jelas dan tegas.
c.       Secara umum, musyarakah terbagi menjadi dua jenis, yaitu: syirkah ‘Uqud dan Mutanaqisha.
d.      Dari sekian banyak jenis musyarakah tersebut diatas hanya syirkah ‘inan yang paling tepat dan dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah. Dimana, bank dan nasabah keduanya memiliki modal. Modal bank dan modal nasabah digunakan oleh pengelola sebagai modal untuk mengerjakan proyek. Pendapatan atau keuntungan yang diperoleh dari proyek dibagikan berdasarkan nisbah yang telah disepakati bersama.




[1] http://muhammadafifkun.blogspot.co.id
[2] http://anandasaja.blogspot.co.id
[3] http://syarwanialbanjari.blogspot.co.id
[4] http://mpstribakti.blogspot.co.id

0 comments:

Post a Comment