A.
Pengertian
Musyarakah
Istilah lain dari musyarakah adalah
syarikah atau syirkah. Menurut bahasa arab, syirkah berasal dari kata syarika
(fi’il madhi), yasyruku (fi’il mudhari’), syarikan/syirkatan/syarikatan
(masdar/kata dasar); yang artinya menjadi sekutu atau syarikat (kamus al
munawar) menurut arti asli bahasa arab, syirkah berarti mencampurkan dua bagian
atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi satu bagian dengan bagian
lainnya. Sedangkan pengertian secara terminologi menurut beberapa tokoh adalah:
a) Menurut
Ulama Malikiyah, syirkah adalah Suatu keizinan untuk bertindak secara hukum
bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.
b) Menurut
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah syirkah aadlah hak bertindak hukum bagi dua
orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.
c) Menurut
Ulama Hanafiyah syirkah adalah akad yang dilakukan oleh orang-orang yang
bekerjasama dalam modal dan keuntungan.
d)
Menurut sayyid sabiq syirkah adalah akad antara dua orang dalam (penanaman)
modal dan (pembagian) keuntungan.
e)
Menurut taqiyuddin abi bakr Muhammad al husaini syirkah adalah ungkapan tentang
penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih menurut
cara yang telah diketahui
f)
Menurut wahbah az zuhaili syirkah adalah kesepakatan dalam pembagian hak dan
usaha.
Menurut
kompilasi hukum ekonomi syariah, yang dinamakan syirkah yaitu kerja sama antara
dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam
usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati
oleh pihak-pihak yang bersyerikat.
Musyarakah adalah
akad kerjasama yang terjadi diantara para pemilik modal (mitra musyarakah)
untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalam suatu
kemitraan, dengan nisbah pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan
kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal.[1]
B.
Rukun dan syarat syirkah
Dari segi hukumnya
melakukan kerjasama dengan menggunakan sistem musyarakah adalah suatu
hal yang dibenarkan dalam Islam. Keabsahannya juga bergantung pada
syarat-syarat dan rukun yang telah ditetapkan. Adapun rukun musyarakah
yang disepakati oleh jumhur ulama adalah:
a.
Shigat (lafal)
ijab dan qabul
b.
Pelaku akad,
yaitu para mitra usaha
c.
Obyek akad,
yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh).
Sighah
al-aqad merupakan rukun akad yang terpenting, karena melalui akad inilah diketahui
maksud setiap pihak yang melakukan akad (transaksi). Sighah al-aqad dinyatakan
melalui ijab dan kabul, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Tujuan akad
itu harus jelas dan dapat dipahami
b. Antara ijab
dan kabul harus dapat kesesuaian
c. Pernyataan
ijab kabul itu harus sesuai dengan kehendak masing-masing, dan tidak boleh ada
yang meragukan.
Dalam akad kerja sama musyarakah,
pernyataan ijab qabul harus menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan
kontrak. Pihak-pihak yang melakukan akad juga harus cakap hukum seperti
berkompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Selain itu
juga setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan. Selain itu juga setiap
mitra kerja boleh mewakilkan kerjanya kepada mitra yang lain dengan perjanjian
yang disepakati bersama.
Sedangkan syarat syirkah
secara umum adalah:
a. Harus
mengenai tasharuf yang dapat diwakilkan
b. Pembagian
keuntungan yang jelas
c. Pembagian
keuntungan tergantung kepada kesepakatan, bukan kepada besar kecilnya modal
atau kewajiban.[2]
C.
Macam-Macam Syirkah
Menurut Muhamad (2003), syirkah terdiri dari : syirkah amlak dan syirkah
aqud. Sedangkan syirkah uqud penulis mengutip dari pendapat An-Nabhani (1990)
terdiri dari:1.syirkah inan 2.syirkah abdan 3.syirkah mudharabah 4.syirkah
wujuh dan 5.syirkah mufawadhah (An-Nbhani, 1990: 148). An-Nabhani berpendapat
oleh memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama
Hanafiyah dan Zaidiyah.
Pada point ini akan dijelaskan
tentang pembagian jenis dan macam syirkah
yang terdapat dalam kitab fiqh dan pendapat para fuqaha. Pada garis
besarnya syirkah dibedakan
menjadi dua jenis sebagai berikut :
1. Syirkah al-amlak Yaitu persekutuan dua orang atau lebih dalam pemilikan
suatu barang. Syirkah al-amlak ini terbagi dalam dua jenis.
a. Ijbariyah yaitu syirkah yang terjadi tanpa adanya
kehendak masing-masing pihak, seperti persekutuan antara ahli waristerhadap
harta warisan tertentu sebelum dilakukan pembagian.
b. Ikhtiariyah yaitu syirkah yang terjadi atas perbuatan
dan kehendak pihak-pihak yang berserikat seperti dua orang yang bersepakat
untuk berserikat membeli sebuah rumah secara patungan.
2. Syirkah
al-uqud ,Yaitu sebuah perserikatan
antara dua pihak atau lebih dalam hal usaha,
modal dan keuntungan. Mengenai syirkah al-uqud ini para ulama
membagi menjadi bermacam-macam jenis, Fuqaha Hanafiyah
membedakan jenis syirkah menjadi
tiga macam yaitu, syirkah al-amwal, syirkah al-a’mal, syirkah
alwujuh, masing-masing
bersifat syirkah al-mufawadhah dan
‘Inan. Dan fuqaha
Hanabilah membedakan menjadi lima macam syirkah
yaitu Syirkah al-’inan, syirkah
al-mufawadhah, syirkah al-abdan dan syirkah al-wujuh serta syirkah
al-mudharabah dan yang terakhir menurur fuqaha Malikiyah dan Syafiiyah membedakanya menjadi
empat jenis syirkah yaitu syirkah
al-’inan, syirkah al-mufawadhah, abdan dan wujuh.
Dari paparan para fuqaha di
atas, pembagian dari jenis syirkah tersebut
dapat dihimpun menjadi dua kategori, kategori pertama merupakan kategori dari
pembagian segi materi syirkah yaitu
syirkah alamwal, a’mal, abdan dan
wujuh, sedangkan kategori kedua adalah kategori dari segi pembagian
posisi dan komposisi saham. Yaitu syirkah
al-’inan, syirkah al-mufawadhah dan syirkah al-Mudharabah.
Dari berbagai jenis syirkah di atas maka akan lebih jelas
bila kita menjelaskan dari masing-masing jenis syirkah tersebut :
a. Syirkah al-amwal adalah persekutuan antara dua pihak pemodal
atau lebih dalam usaha
tertentu dengan mengumpulkan modal
bersama dan membagi keuntungan
dan resiko kerugian
berdasarkan kesepakatan.
b. Syirkah al-a’mal adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi
untuk menerima pekerjaan
secara bersama dan berbagi keuntungan
dari pekerjaan itu misalnya
kerjama dua orang arsitek untuk
mengerjakan satu proyek Syirkah ini disebut juga Syirkah abdan
atau Syirkah sana’i.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inan,
abdan, mudharabah, dan wujuh. Menurut ulama malikiyah, yang sah hanya syirkah
inan dan mudharabah (Wahbah Az Zuhaili, Al-fiqh al-islami wa Adillatuhu,
4/795). Sumber: Muhamad (2003)
Syirkah Inan
Syirkah inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing
memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal) (An-Nabhani, 1990: 148).
Syirkah ini hukumnya
berdasarkan dalil Sunah dan Ijma Sahabat. Dalam syirkah ini, disyatkan modalnya
harus berupa uang (nuqud); sedangkan barang (urudh), misalnya rumah atau mobil
, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung
nilainya (qimah al-urudh) pada saat akad.
Keuntungan idasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugiaan ditanggung oleh
masing-masing mitra usaha (syarik) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya,
masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%
diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jami, bahwa Ali bin Abi Thalib r.a
pernah berkata,
“ kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan
atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990:
151.)
Syirkah Abdan
Syirkah abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing
hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa kontribusi modal(mal).
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi
boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah abdan terdiri dari beberapa
tukang kayu dan tukang batu. Namun, diisyratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan
merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150) tidak boleh berupa pekerjaan
haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng). Ibnu
Mas’ud r.a pernah berkata (yang artinya).
“ aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’adbin abi Waqash
mengenai harta rampasan perang pada perang Badar. Sa’ad membawa dua orang
tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apapun.”HR Abu Dawud dan
al-Atsram).
Syirkah Mudharabah
Syirkah mudharabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan
ketentuan, satu pihak memberikan kpntribusi kerja (amal), sedangkan pihak lain
memberikan kontribusi modal (mal).
Hukum syirkah mudharabah adalah ja’iz (boleh) berdasarkan dalil Sunnah
(taqrir Nabi Saw.) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini,
kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudharib/amil).
Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola
terikat denagn syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan
pengelola modal. Sebab, dalam mudharabah berlaku hukum wakalah (perwakilan),
sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana
yang diwakilkan kepadanya (An-Nbhani, 1990:152). Namun demikian, pengelola
turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaanya atau
karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. (Al-Khayyath,
Asy-Syarikat fi asy-Syariah al-Islamiyyah,2/66)
Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh disebut juga syirkah ala adz-dzimam (Al-Khayyath,
Asy-syarikat fi asy-syari’ah al-Islamiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujuh karena
didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tangan
masyarakat.
Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang bersyirkah
dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang
kepada keduanya, tanpa kontribusi modal dari masing-masing pihak.
An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang dimaksudkan dalam
syirkah wujuh adalah kepercayaan finansial (tsiqah maliyah), bukan semata-mata
ketokohan dimasyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah wujuh yang dilakukan
oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki
kepecayaan finansial (tsiqah maliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan
tepat janji dalam urusan keuangan. ( An-Nabhani, 1990:155-156).
Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufawadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah diatas (syirkah inan, abdan ,mudharabah dan
wujuh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufawadhah dalam
pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah
yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis
syirkah lainya. (An-Nabhani, 1990: 156).
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan
kerugian ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah
inan), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudharabah), atau di
tanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki
(jika berupa syirkah wujuh).[3]
D.
Mekanisme Pembiayaan Musyarakah dalam Perbankan Syari’ah
Dari sekian banyak jenis musyarakah tersebut diatas hanya syirkah
‘inan yang paling tepat dan dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah.
Dimana, bank dan nasabah keduanya memiliki modal. Modal bank dan modal nasabah
digunakan oleh pengelola sebagai modal untuk mengerjakan proyek. Pendapatan
atau keuntungan yang diperoleh dari proyek dibagikan berdasarkan nisbah yang
telah disepakati bersama.
Adapun mekanismenya yaitu:
1. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama
menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu.
2.
Nasabah bertindak sebagai pengelola
usaha dan Bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha
sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati seperti melakukan review,
meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah
berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan.
3.
Pembagian hasil usaha dari pengelolaan
dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati.
4.
Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak
dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan
para pihak.
5.
Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah diberikan
dalam bentuk uang dan/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau
tagihan.
6.
Dalam hal Pembiayaan atas dasar
Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk uang harus dinyatakan
secara jelas jumlahnya.
7.
Dalam hal Pembiayaan atas dasar
Akad Musyarakah diberikan dalam bentuk barang, maka barang
tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar (net realizable value) dan
dinyatakan secara jelas jumlahnya.
8.
Jangka waktu Pembiayaan atas dasar
Akad Musyarakah, pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah.
9.
Pengembalian Pembiayaan atas dasar
Akad Musyarakah dilakukan dalam dua cara, yaitu secara
angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode Pembiayaan, sesuai dengan jangka
waktu Pembiayaan atas dasar Akad Musyarakah.
10.
Pembagian hasil usaha berdasarkan
laporan hasil usaha nasabah berdasarkan bukti pendukung yang dapat
dipertanggungjawabkan.
11. Bank dan nasabah
menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi modal masing-masing.[4]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
a.
Jadi secara istilah musyarakah adalah akad kerja
sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise)
dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai
dengan kesepakatan.
b.
Berdasarkan hukum yang diuraikan di atas, maka
secara tegas dapat dikatakan bahwa kegiatan syirkah dalam usaha diperbolehkan
dalam Islam, sebagai dasar hukumnya telah jelas dan tegas.
c.
Secara umum, musyarakah terbagi menjadi dua jenis, yaitu: syirkah ‘Uqud dan
Mutanaqisha.
d.
Dari sekian banyak jenis musyarakah tersebut diatas hanya syirkah
‘inan yang paling tepat dan dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah.
Dimana, bank dan nasabah keduanya memiliki modal. Modal bank dan modal nasabah
digunakan oleh pengelola sebagai modal untuk mengerjakan proyek. Pendapatan
atau keuntungan yang diperoleh dari proyek dibagikan berdasarkan nisbah yang
telah disepakati bersama.
0 comments:
Post a Comment